Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi.
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
"I'am
never be calm, and always be gelisah (Gie)
|
Guna menjawab pertanyaan itu, sedari awal Hok Gie berkata, “Di Indonesia hanya ada dua pilihan: menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis sampai batas batas sejauh jauhnya”. Sampai ‘batas sejauh jauhnya’ ia berujar. Dengan senegap intergritas dan bukti bukti perjuangnnya, bilapun ia masih hidup saat ini, niscaya dirinya akan tetap konsisten rel perjuangannya yang murni. Ia tak akan mendirikan partai politik atau menjadi bagian dari kekuasaan. Profesi yang dipilih mungkin dosen, mungkin jurnalis atau mungkin juga keduannya. Namun bila profesi profesi tersebut tak dapat lagi menampung kreatifitas pikirannya, bisa saja ia menjelma jadi seorang blogger yang aktif. Bukankah sejak remaja Hok Gie telah menjadi tukang curhat dibuku hariannya. Kemajuan teknologi dapat memfasilitasinya untuk menyebarluaskan apa yang ia pikirkan secara luas dan gratis.
Terlepas ia telah meninggal atau masih hidup, Soe Hok Gie adalah model ideal bagi setiap generasi muda Indonesia, khususnya mahasiswa untuk menilai diri mereka secara jujur. Apa yang telah mereka lakukan untuk bangsa ini? Tridharma pendidikan tinggi mengamanatkan tiga poin penting, yakni pendidikan, penelitian dan penelitian. Namun seperti jauh panggang dari api, sebagian mahasiswa memaknai kehidupan kampus hanya berkutat soal bangku bangku, ruang kelas dan pengajaran tok. Tak heran muncul istilah istilah seperti kupu kupu atau kuliah pulang kuliah pulang bagi mereka yang tidak punya aktifitas lain di kampus kecuali belajar, atau kuper atau kuliah-perpus kuliah-perpus, bagi mereka yang telalu serius menderasi diktat diktat. Sementara sebagian lagi sama sekali tak tahu apa esensi pendidikan tinggi sesungguhnya.
Padahal menurut Novelis Edith Warthon, Generasi muda hendaknya menjadi lilin yang menjadi cahaya sekaligus mencari cermin yang memantulkan sinarnya. Hal ini dibuktikan oleh Soe Hok Gie. Secara personal dan sosial ia dikenal sebagai sosok simpatik, ramah dan tak sungkan membantuk kawan yang mendapat masalah. Sebagai seorang intelektual ia telah memenuhi panggilan jiwanya yang paling dalam. kekritisan sikapnya, tercermin dari aktiftasnya sebagai seorang demostran dan penulis. Baginya menjadi pintar saja tidaklah cukup kalau belum bisa bertindak benar. Bukankah kepintaran yang tak diiringin kebenaran berpotensi besar untuk ‘merusak’ dimasa datang. Hok Gie telah menyelerasakan fungsi tri Dharman pendidikan tinggi yang pincang itu. Meski pengkhianatan dan ancaman ditujukan padanya, namun Hok Gie tetap konsisten. Ia tak tergiur untuk bergabung dengan kekuasaan dan memeperkaya diri sendiri seperti kawan kawannya.
Sikap seperti itu yang mestinya merasuki jiwa tiap generasi muda. Kembali menelaah risalahnya dan berkali-kali meneladaninya merupakan suatu keutamaan. Meneladani dalam prespektif mewarisi karakternya yang penuh martabat. Keculasan diganti kejujuran dan apatisme diganti dengan pengabdian kendati kecil dampaknya dimasyarakat. Pertanyaanya kemudian, apakah kita berani melakukan hal serupa sekarang? Menjadi tidak populer dan dianggap aneh di tengah keadaan yang serba munafik. Seperti disampaikan Hok Gie, kalau memang berani maka rentaslah jalan hidup yang kering dan sepi di depan kita
lumayan....
ReplyDelete