
Masih di lingkungan kampus, Soe Hok Gie dikenal pula sebagai aktifis makasiswa yang kritis serta memiliki pandangan pandangan ideal untuk bangsannya. Kendati berasal dari keluarga minoritas Tionghoa, namun ia mendedikasikan diri sepenuhnya untuk kepentingan lebih besar, bangsanya tanpa memandang agama, suku dan warna kulit.
Seperti
disampaikan oleh Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Utama, Hok Gie menyikapi
tiap persoalan secara ‘hitam putih’. Karena itu analisisnya menjadi tajam dan
menusuk. Pada masa demokorasi terpimpin sebagai contoh, ia merasa gusar saat
melihat bung Karno melenceng dari cita cita revolusi semula. Menurutnya
pemerintahan sang proklamator bukan hanya tak bekerja dengan efisien tetapi juga
termahsyur karena praktik korupsi dan dekadensi moral. Sementara rakyat sendiri
hidup dalam kemelaratan, mengantri minyak dan kekurangan pangan. Hok Gie
menulis, “kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka
akan bergerak sendiri. dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih
baik mahasiswa yang bergerak, maka lahirlah sang demontsran.” Sebagai
seorang intelektual yang merasa terpanggil untuk melakukan perubahan, Soe Hok
Gie memainkan dua peran ganda yakni sebagai man on the street sekaligus Man
On the paper.
Sebagai man on the street ia menjadi seorang demonstran yang aktif, hari harinya diisi dengan demo. Rapat penting disana sini dan membangun jaringan. Tahun 1966 ketika mahasiswa turun kejalan dengan mengusung isu Tritura, ia berada dibarisan paling depan. Konon ia pulalah yang menjadi salah satu tokoh kunci terjadinya alisansi anatara Mahaiswa dan ABRI 1966.
Sedang sebagai man on the paper, ia menjadi seorang penulis yang goresan penanya amat tajam. Tulisan tulisan Hok Gie selalu blak blakan, telanjang, berani, jujur namun tidak membabi buta, karena berdasarkan pada daya analisis mendalam dan disertai oleh sentuhan kemanusiaan. Dalam artikel berjudul ‘Orang orang Indonesia Di Amerika’ sebagai contoh, ia menulis dengan sangat gamblang kebiasaan pembesar pembesar kita yang doyan ‘menunggang kuda putih’, dengan kata lain ‘tidur’ bersama perempuan bule saat melakukan dinas kenegaraan ke luar negri. Atau waktu menyinggung proyek Monumen Nasional ia berujar, “Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di puncaknya daripada membuat dan memperbaiki 1000 kilometer jalan raya.”
Semula Hok Gie bersama kawan-kawannya bekerja keras demi mewujudkan cita cita mereka. Ia percaya bila rezim orde lama tumbang maka keadaan akan lebih baik. Namun kejadiaanya justru anti klimaks. Setelah Bung Karno Mundur dan Soeharto menggantikan posisinya keadaan ternyata tak jadi lebih baik. Ia geram atas pembunuhan besar besaran yang dialami oleh anggota PKI dan mereka yang di tuduh sebagai simpatisannya. Hok Gie jelas bukan PKI, tapi dalam pandangannya tiap orang sejahat apapun memiliki han untuk membela diri dan mendapat pembelaan hukum saat akan diadili. Ketika banyak orang tidak tahu atau bisa jadi pura-pura tidak tahu terhadap hal itu karena takut mendapat tuduhan serupa dari Orde Baru, ia dengan berani menulis, “di akhir tahun 1965 dan disekitar tahun 1966, dipulau yang indah ini (Bali) telah terjadi suatu mala petaka yang mngerikan, yang tiada taranya dalam zaman modern ini baik dari sudut waktu yang begitu singkat maupun dari jumlah mereka mereka yang disembelih.”
Saat HAM perlu dibela dan keadilan perlu ditegakan, kawan kawan aktifinya justru berpaling dan lebih memilih untuk bergabung di parlemen. Hok Gie kecewa, karena baginya mahasiswa adalah kekuatan moral yang independen dan tak tersentuh oleh unsur politik manapun. mereka bertugas untuk mengganti rezim yang telah bobrok dengan rezim baru yang lebih baik. Setelah tugas itu usai, maka mahasiswa harus kembali ke kampus untuk belajar. kekecewaan itu ia wujudkan dengan menggelar protes yang bikin geger. Hok Gie mengirimi mereka bedak, gincu, cermin, benang dan jarum. Dalam suratnya ia menulis, agar mereka terlihat lebih menarik dimata penguasa. “bekerjalah lebih baik, hidup orde baru! Nikmatilah kursi Anda-tidurlah nyenak”, ungkapnya sinis.
Keberanian Soe Hok Gie bukan tanpa risiko. Ia mendapat surat kaleng dengan makian rasis agar dirinya kembali saja ke negri asalnya atau dirempet mobil. “Nasibmu akan ditentukan pada suatu ketika. Kau sekarang sudah dibuntuti. Saya nasihatkan jangan pergi sendirian atau di malam hari”, begitu bunyi salah satu ancaman yang ditujukan. Kawan kawannyapun mulai menjauh darinya. Saat keadaan tidak menjadi lebih baik, padahal penguasa telah berganti, ia curhat pada sang kakak Arif Budiman, “Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”
Guna menghilangkan keresahan dalam dirinya, iapun sering sering naik gunung. Aktifitas yang membuat ia dapat mengenal dan mencintai Indonesia secara langsung. Ia bersinggungan dengan orang-orang desa dan di alamlah dirinya mendapat kedamaian. Hingga kematian menjemputnya dipuncak Semeru pada 16 Desember 1969, cita cita Soe Hok Gie soal kehidupan yang adil makmur belum tercapai. Ia mati muda sebelum usiannya genap 27 tahun. Alam semesta rupanya lebih mencintai dirinya dan tak tak rela kalau sang demonstran kembali bergabung dengan kehidupan kota yang serba munafik. Prasisti atas kematiannya abadi tersimpan dipuncak gunung semeru. Barangkali ia telah menjadi penunggu gunung tertinggi di pulau jawa itu dan sedang mengawasi perjalanan bangsanya dengan bimbang.
Sebagai man on the street ia menjadi seorang demonstran yang aktif, hari harinya diisi dengan demo. Rapat penting disana sini dan membangun jaringan. Tahun 1966 ketika mahasiswa turun kejalan dengan mengusung isu Tritura, ia berada dibarisan paling depan. Konon ia pulalah yang menjadi salah satu tokoh kunci terjadinya alisansi anatara Mahaiswa dan ABRI 1966.
Sedang sebagai man on the paper, ia menjadi seorang penulis yang goresan penanya amat tajam. Tulisan tulisan Hok Gie selalu blak blakan, telanjang, berani, jujur namun tidak membabi buta, karena berdasarkan pada daya analisis mendalam dan disertai oleh sentuhan kemanusiaan. Dalam artikel berjudul ‘Orang orang Indonesia Di Amerika’ sebagai contoh, ia menulis dengan sangat gamblang kebiasaan pembesar pembesar kita yang doyan ‘menunggang kuda putih’, dengan kata lain ‘tidur’ bersama perempuan bule saat melakukan dinas kenegaraan ke luar negri. Atau waktu menyinggung proyek Monumen Nasional ia berujar, “Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di puncaknya daripada membuat dan memperbaiki 1000 kilometer jalan raya.”
Semula Hok Gie bersama kawan-kawannya bekerja keras demi mewujudkan cita cita mereka. Ia percaya bila rezim orde lama tumbang maka keadaan akan lebih baik. Namun kejadiaanya justru anti klimaks. Setelah Bung Karno Mundur dan Soeharto menggantikan posisinya keadaan ternyata tak jadi lebih baik. Ia geram atas pembunuhan besar besaran yang dialami oleh anggota PKI dan mereka yang di tuduh sebagai simpatisannya. Hok Gie jelas bukan PKI, tapi dalam pandangannya tiap orang sejahat apapun memiliki han untuk membela diri dan mendapat pembelaan hukum saat akan diadili. Ketika banyak orang tidak tahu atau bisa jadi pura-pura tidak tahu terhadap hal itu karena takut mendapat tuduhan serupa dari Orde Baru, ia dengan berani menulis, “di akhir tahun 1965 dan disekitar tahun 1966, dipulau yang indah ini (Bali) telah terjadi suatu mala petaka yang mngerikan, yang tiada taranya dalam zaman modern ini baik dari sudut waktu yang begitu singkat maupun dari jumlah mereka mereka yang disembelih.”
Saat HAM perlu dibela dan keadilan perlu ditegakan, kawan kawan aktifinya justru berpaling dan lebih memilih untuk bergabung di parlemen. Hok Gie kecewa, karena baginya mahasiswa adalah kekuatan moral yang independen dan tak tersentuh oleh unsur politik manapun. mereka bertugas untuk mengganti rezim yang telah bobrok dengan rezim baru yang lebih baik. Setelah tugas itu usai, maka mahasiswa harus kembali ke kampus untuk belajar. kekecewaan itu ia wujudkan dengan menggelar protes yang bikin geger. Hok Gie mengirimi mereka bedak, gincu, cermin, benang dan jarum. Dalam suratnya ia menulis, agar mereka terlihat lebih menarik dimata penguasa. “bekerjalah lebih baik, hidup orde baru! Nikmatilah kursi Anda-tidurlah nyenak”, ungkapnya sinis.
Keberanian Soe Hok Gie bukan tanpa risiko. Ia mendapat surat kaleng dengan makian rasis agar dirinya kembali saja ke negri asalnya atau dirempet mobil. “Nasibmu akan ditentukan pada suatu ketika. Kau sekarang sudah dibuntuti. Saya nasihatkan jangan pergi sendirian atau di malam hari”, begitu bunyi salah satu ancaman yang ditujukan. Kawan kawannyapun mulai menjauh darinya. Saat keadaan tidak menjadi lebih baik, padahal penguasa telah berganti, ia curhat pada sang kakak Arif Budiman, “Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”
Guna menghilangkan keresahan dalam dirinya, iapun sering sering naik gunung. Aktifitas yang membuat ia dapat mengenal dan mencintai Indonesia secara langsung. Ia bersinggungan dengan orang-orang desa dan di alamlah dirinya mendapat kedamaian. Hingga kematian menjemputnya dipuncak Semeru pada 16 Desember 1969, cita cita Soe Hok Gie soal kehidupan yang adil makmur belum tercapai. Ia mati muda sebelum usiannya genap 27 tahun. Alam semesta rupanya lebih mencintai dirinya dan tak tak rela kalau sang demonstran kembali bergabung dengan kehidupan kota yang serba munafik. Prasisti atas kematiannya abadi tersimpan dipuncak gunung semeru. Barangkali ia telah menjadi penunggu gunung tertinggi di pulau jawa itu dan sedang mengawasi perjalanan bangsanya dengan bimbang.
Soe Hok Gie & Semeru
No comments:
Post a Comment